
DiYES International School – Banyak orang tua masih bingung menerapkan disiplin positif dalam keluarga agar tegas tanpa menjadi keras pada anak.
Disiplin sering disalahartikan sebagai hukuman dan kemarahan. Padahal, disiplin sejatinya bertujuan mengajar anak mengatur diri sendiri. Dalam konteks disiplin positif dalam keluarga, orang tua menekankan bimbingan, bukan ancaman.
Disiplin positif berfokus pada hubungan yang hangat dan saling menghormati. Anak tetap belajar batasan, tetapi tidak melalui rasa takut. Karena itu, disiplin positif membantu anak memahami alasan di balik aturan.
Pola ini menumbuhkan rasa tanggung jawab dari dalam diri. Akibatnya, anak patuh bukan karena takut dimarahi, melainkan karena mengerti konsekuensi tindakannya.
Banyak orang tua ingin tegas, namun akhirnya justru terlihat keras. Tegas dan keras sama-sama memberi batasan, tetapi caranya berbeda. Dalam disiplin positif dalam keluarga, ketegasan selalu disertai rasa hormat kepada anak.
Orang tua tegas menjelaskan aturan dengan jelas dan konsisten. Nada bicara tetap tenang meski situasi menegangkan. Di sisi lain, sikap keras sering muncul melalui teriakan, ancaman, atau hukuman berlebihan.
Meski begitu, perbedaan ini sering tidak disadari karena orang tua merasa marah demi kebaikan anak. Namun, cara yang keras membuat anak lebih fokus pada rasa takut, bukan pada pelajaran yang ingin diajarkan.
Orang tua yang menerapkan disiplin positif dalam keluarga memiliki beberapa ciri khas. Pertama, mereka memegang aturan dengan konsisten. Namun, mereka juga mau mendengar sudut pandang anak.
Kedua, mereka menggunakan kata-kata yang jelas dan spesifik. Misalnya, “Tolong simpan mainanmu di kotak sebelum tidur,” bukan hanya, “Jangan berantakan.” Sementara itu, nada suara tetap stabil dan tidak merendahkan.
Ketiga, orang tua tegas memberi konsekuensi yang logis dan relevan. Jika anak menumpahkan minuman, ia diajak ikut mengelap lantai. Karena itu, anak memahami hubungan antara tindakan dan akibat dengan cara yang sehat.
Sikap keras biasanya mudah dikenali dari cara menyampaikan. Orang tua sering meninggikan suara, mengancam, atau mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Dalam pola ini, disiplin positif dalam keluarga sulit berjalan karena relasi penuh ketegangan.
Fokus orang tua menjadi pada ketaatan instan, bukan pemahaman jangka panjang. Akibatnya, anak mungkin patuh di depan orang tua, tetapi membangkang ketika jauh dari pengawasan.
Selain itu, sikap keras berulang dapat mengikis kepercayaan anak. Anak merasa tidak aman berbagi perasaan karena takut dimarahi. Pada akhirnya, kedekatan emosional terganggu.
Sikap keras tidak hanya meninggalkan luka sesaat. Dalam konteks jangka panjang, dampaknya bisa terbawa hingga dewasa. Anak yang sering menerima bentakan cenderung lebih cemas dan ragu pada diri sendiri.
Di sisi lain, anak dapat meniru pola yang sama pada adik atau teman. Karena itu, pola keras mudah menular lintas generasi. Sementara itu, disiplin positif dalam keluarga justru mengurangi risiko perilaku agresif.
Beberapa anak yang sering dimarahi menjadi sangat patuh, tetapi kehilangan inisiatif. Yang lain memilih melawan, menjadi lebih sulit diatur. Keduanya bukan tujuan pendidikan yang sehat.
Untuk menerapkan disiplin positif dalam keluarga, orang tua perlu memegang beberapa prinsip dasar. Pertama, hubungan lebih penting dari ketaatan sesaat. Anak yang merasa diterima akan lebih mudah diajak bekerja sama.
Kedua, fokus pada mengajar, bukan mempermalukan. Koreksi perilaku boleh tegas, tetapi jangan menyentuh harga diri anak. Ucapkan, “Perilakumu barusan menyakiti adik,” bukan, “Kamu nakal sekali.”
Ketiga, gunakan konsekuensi yang logis dan wajar. Hindari hukuman yang tidak berkaitan, seperti melarang makan atau mengungkit kesalahan lama. Dengan demikian, anak belajar berpikir sebab-akibat secara sehat.
Baca Juga: Panduan lengkap disiplin positif yang praktis untuk orang tua pemula
Bayangkan anak menolak berhenti bermain gawai saat waktunya tidur. Dalam disiplin positif dalam keluarga, orang tua sudah punya aturan dan menjelaskannya sejak awal.
Orang tua bisa berkata dengan tenang, “Waktu gadget sudah selesai. Kamu boleh pilih, matikan sekarang atau dua menit lagi, lalu besok dipotong dua menit.” Anak diberi pilihan dalam batas jelas.
Jika anak tetap menolak, orang tua menjalankan konsekuensi yang sudah disepakati. Setelah itu, orang tua tetap bersikap hangat, misalnya dengan menemani anak membaca buku sebelum tidur.
Aturan yang jelas membantu disiplin positif dalam keluarga berjalan lebih mudah. Anak tahu apa yang diharapkan dan apa yang terjadi jika melanggar.
Selain itu, aturan sebaiknya disusun bersama, terutama dengan anak yang lebih besar. Ketika anak dilibatkan, ia merasa memiliki tanggung jawab lebih besar untuk mematuhinya.
Konsistensi juga sangat penting. Jika orang tua berubah-ubah, anak bingung dan mulai menguji batas. Akibatnya, konflik menjadi lebih sering.
Komunikasi empatik adalah pondasi disiplin positif dalam keluarga yang sehat. Orang tua berusaha memahami perasaan di balik perilaku anak.
Misalnya, sebelum menegur, orang tua bisa bertanya, “Kamu kelihatan kesal, apa yang membuatmu marah?” Setelah itu, barulah perilaku yang tidak tepat diarahkan.
Dengan cara ini, anak belajar bahwa perasaan boleh muncul, tetapi tetap perlu diungkapkan dengan cara yang tepat. Sementara itu, orang tua tetap memegang batasan yang jelas.
Mengubah kebiasaan tidak mudah, namun bukan mustahil. Orang tua dapat mulai dengan menyadari momen ketika ingin berteriak. Dalam disiplin positif dalam keluarga, jeda beberapa detik sebelum merespons sangat membantu.
Tarik napas, turunkan nada suara, dan fokus pada tujuan jangka panjang. Tanyakan pada diri sendiri, “Apa yang ingin anak pelajari dari situasi ini?” Pertanyaan ini menggeser fokus dari pelampiasan emosi ke proses belajar.
Setelah itu, bangun kebiasaan refleksi. Minta maaf jika berlebihan, dan perbaiki cara menyampaikan pada kesempatan berikutnya. Sikap ini justru mengajarkan kerendahan hati pada anak.
Pada akhirnya, tujuan disiplin positif dalam keluarga bukan sekadar membuat anak patuh. Tujuan utamanya adalah menumbuhkan karakter, empati, dan kemandirian.
Anak yang dibesarkan dengan pola tegas namun hangat cenderung memiliki rasa aman yang kuat. Mereka berani berpendapat, tetapi juga menghormati batas orang lain.
Dengan komitmen menerapkan disiplin positif dalam keluarga, orang tua sedang menanam investasi jangka panjang. Hubungan yang hangat dan saling percaya menjadi bekal berharga sepanjang hidup anak.